blog image
Created by : admin - 2019-10-26 14:01:56

Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si, saat menyampaikan materi

YOGYAKARTA ∎ Pergulatan logika terjadi dan muncul seketika sebuah pertanyaan, “apakah tidak terlalu besar dan terlalu jauh dari Jakarta mengurusi soal Desa?”
Hal tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si, Guru Besar FISIP Universitas Indonesia, saat mengawali uraiannya sebagai narasumber dalam acara Penyusunan Rencana Kinerja Tahunan Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Tahun Anggaran 2016, beberapa waktu yang lalu, di Yogyakarta.

“Jauh atau dekat, Negara tetap punya andil dalam menerapkan UU Desa yang telah ditetapkan di tingkat nasional.  Salah satu penanggung jawabnya adalah Kemendagri melalui Ditjen Bina Pemerintahan Desa”, tegas Prof. Irfan lebih lanjut.

Bertindak selaku narasumber, Prof. Irfan, begitu biasa disapa, membawakan materi yang diberi judul ‘Memperkuat Kelembagaan Desa dari Jakarta’. Menurutnya memperkuat lembaga Desa dari Jakarta tidak mungkin optimal tanpa adanya alat (instrumen). Menyangkut kondisi ini terdapat dua hal yang dihadapi, yaitu instrumen dalam mengatasi jarak yang jauh, dan instrumen terkait persoalan Desa itu sendiri.  Oleh karena itu, lanjutnya, untuk mengatasi hal tersebut Kemendagri harus menyiapkan dua jalan, yang pertama adalah jalan menyiapkan instrumen kelembagaan Kemendagri sendiri, dan yang kedua adalah instrumen substansi berupa program-program penguatannya.

Diungkapkan lebih lanjut oleh Prof. Irfan bahwa the founding fathers (pendiri bangsa-red) sudah memperkirakan betapa sulitnya NKRI mengelola struktur terendah ini jika terkait dengan organ negara secara tegas, jelas dan formal. Desa adalah otonomi kaki dari sebuah negara, otonomi asli dari masyarakat Indonesia sejak berabad-abad. Melihat luas dan besarnya bangsa Indonesia secara geografis, di mana Desa berada di lingkup paling rendah, bersamaan dengan pilihan bentuk negara kesatuan, maka rasional the founding fathers dalam mengelola Desa muncul, di mana Negara akan menjadi terlalu besar untuk menentukan kepentingan, urusan, dan hajat hidup dari masyarakat lingkup terkecil.

“Hanz Antlov pernah mengemukakan penilaian, pada jaman Soeharto terjadi apa yang disebut dengan ‘Negara-isasi Desa’ lantaran standar dan penyeragaman struktur sejenis seperti Desa-desa di Jawa, plus integrasi militer di dalamnya”, lanjut Prof. Irfan.

Ditandaskan bahwa sesungguhnya UU Desa sekarang, menambahkan bukan hanya sekedar seragam saja, tetapi terdapatnya aspek formal dengan masuknya keuangan negara ke Desa. Namun demikian, menurutnya, kondisi ini seolah diselamatkan dengan adanya pengaturan Desa Adat dan juga keluarnya Militer dari integrasi struktur tersebut.

Terkait dengan kondisional yang ada sekarang ini, dengan adanya UU Desa, Prof. Irfan menegaskan bahwa Negara tetap memiliki andil terhadap keberadaan Desa sehingga dari Jakarta tetap harus mengurusi Desa. Soal jarak yang sedemikian jauh dan luas, menurutnya diperlukan adanya instansi vertikal dari Ditjen Pemerintahan Desa sampai Provinsi bahkan Kabupaten/Kota, atau adanya Tugas Pembantuan ke Provinsi dan atau kabupaten/kota mengenai Desa, dengan catatan tugas pembantuan yang benar.

Menyangkut penguatan Tata Kelembagaan Desa, ditekankan bahwa program penguatan kapasitas pemdes khususnya mengenai kapasitas governansi dapat dikembangkan, mengingat tata kelembagaan yang baru, jelas termuat dalam UU Desa dengan dikukuhkannya lembaga Musyawarah Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa. Namun demikian yang paling penting adalah bagaimana menata peran-peran dan hubungan antar-lembaga tersebut.
 
Tim Red: Pulung-Titin-Hm
Sumber: Pemaparan Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si, selaku narasumber dalam acara Penyusunan Rencana Kinerja Tahunan Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Tahun Anggaran 2016, di Yogyakarta