Direktur Penataan dan Administrasi Desa, Ditjen Bina Pemdes, Kementerian Dalam Negeri
Jakarta â– Sejak terbitnya UU Desa awal tahun 2014, telah terjadi perubahan paradigma yang luar biasa dalam ketetanegaraan kita. Desa tidak bisa lagi diperlakukan semena-mena layaknya orang tua memperlakukan anaknya yang belum dewasa. Karena Desa telah menjadi lembaga yang eksistensi dan keunikan (asal-usul) - nya diakui negara, dipertegas status hukumnya dan dijamin sumber pendanaannya.
Sekalipun terhadap anak kecil, pada bangsa-bangsa yang berperadaban maju, sikap santun orang tua terhadap anak itu sangat perlu. Sehingga anakpun juga akan bersikap santun karena sesungguhnya dalam hidup ini adalah ruang untuk saling belajar, saling berbagi dan saling menerima. Persoalannya, untuk bersikap santun diperlukan kesadaran kritis seseorang dalam memahami siapa dirinya, siapa dan apa si anak yang ada di depannya. Demikian pula dalam membangun sikap santun terhadap Desa pasca terbitnya UU Desa, diperlukan adanya kesepakatan terhadap nilai-nilai yang akan menjadi landasan budaya dalam kehidupan bersama, terlebih dalamkehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdiskusi dengan Drs. Afery Syamsidar Fudail, M.Si, Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ditjen Bina Pemdes, Kementerian Dalam Negeri, kita menjadi paham bagaimana sesungguhnya desa di seluruh Indonesia itu didesain sedemikian rupa sehingga desa akan menjadi sebuah lembaga yang mampu menatap langit namun tetap menginjak bumi. Mampu mengembangkan potensi diri di sesuai dengan jati diri. Mampu menjadi abdi negara tetapi tak meninggalkan akar budaya. Fakta sejarah bahwa desa adalah penopang lahirnya negara, sehingga tidak elok kalau desa diperlakukan semena-mena oleh negara. Oleh karenanya sesungguhnya semangat UU Desa adalah hasrat negara ingin mengembalikan kodrat desa seperti semula, namun tetap dalam bingkai NKRI dan berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan 1945.
Seperti halnya manusia, desa tercipta dari organ-organ utama yaitu kepala, badan dan anggota badan. Tak ada satupun dari organ-organ itu yang hanya sebagai asesoris belaka, semua punya arti dan punya fungsi. Namun tidak hanya itu saja, disamping tercipta dari organ-organ itu, desa juga dirancang memiliki jiwa atau ruh yang akan menggerakkan tubuhnya. Yang akan menguasai tubuhnya untuk melakukan apa saja sehingga kehadirannya lebih bermakna. Makna kehadiran desa pun akan paralel dengan sejauh mana kualitas jiwa yang ada mampu mengolah jiwa sehingga jiwanya mampu menghadirkan manfaat bagi warganya. Untuk mewadahi dan menyempurnakan kualitas jiwa desa, desa membutuhkan sesuatu yang sangat berharga, yaitu : kewenangan !
Menyadari arti dan makna kewenangan bagi desa sebagai jiwanya (ruhnya) desa, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara telah memberikan sesuatu yang sangat berharga itu kepada seluruh desa di Indonesia. Dan bergembiralh rakyat desa karena Permendagri No 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa telah diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri pada 30 Juni 2016.
Tantangan terberat dalam membangun sikap santun pemerintah terhadap desa, demikian pula masyarakat sendiri dan lembaga swasta terhadap desa, adalah menyamakan persepsi dalam memahami substansi dan konstruksi bangunan desaa. Tantangan terberat berikutnya adalah minim dan mahalnya media komunikasi pembangunan untuk mengkomunikasikan substansi itu.
“Kewenangan adalah basis semua aktivitas dan kegiatan yang ada di desa. Baik yang dilakukan di sini (Kemendagri) maupun di Kemendes. Kalau kewenangan tidak dapat dipahami dengan baik, maka akan percuma. Apapun yang diberikan kepada desa termasuk bantuan dalam bentuk dana baik dari pusat, provinsi maupun kabupaten/kota dan dari sumber lainnya akan sia-sia kalau tidak dikonstruksikan dalam konteks meletakkan kewenangan yang sebenarnya sesuai dengan UU. Kewenangan desa jangan dipahami seperti kewenangan yang diberikan pemerintah kepada pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan”, ungkapnya Aferi.
“Kewenangan desa itu mengacu kepada empat kewenangan sebagaimana yang diatur dalam UU Desa, yaitu kewenangan asal usul, kewenangan lokal skala desa, kewenangan penugasan dan kewenangan penugasan lain. Dua kewenangan pertama adalah kewenangan penyelengaraan urusan untuk mengatur kepentingan masyarakat yang tidak ada batasannya.
Dan dua kewenangan terakhir adalah metode pelaksanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota kepada desa. Itupun tidak serta dengan hanya memberikan program dan menyertakan angarannya, kemudian desa tinggal laksanakan. Tetapi harus masuk dalam proses perencanaan pembangunan desa”, lanjut Aferi.
Terjadinya ketidakharmonisan antara program dari pusat, provinsi maupun kabupaten/kita terhadap desa selama ini, adalah salah satu akibat dari sikap sektor yang belum memahami desa secara kritis sesuai dengan UU Desa. Masing-masing pihak masih asyik dengan persepsi dan paradigmanya dalam mahami desa. (Red : Agt-Jam)
Sekalipun terhadap anak kecil, pada bangsa-bangsa yang berperadaban maju, sikap santun orang tua terhadap anak itu sangat perlu. Sehingga anakpun juga akan bersikap santun karena sesungguhnya dalam hidup ini adalah ruang untuk saling belajar, saling berbagi dan saling menerima. Persoalannya, untuk bersikap santun diperlukan kesadaran kritis seseorang dalam memahami siapa dirinya, siapa dan apa si anak yang ada di depannya. Demikian pula dalam membangun sikap santun terhadap Desa pasca terbitnya UU Desa, diperlukan adanya kesepakatan terhadap nilai-nilai yang akan menjadi landasan budaya dalam kehidupan bersama, terlebih dalamkehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdiskusi dengan Drs. Afery Syamsidar Fudail, M.Si, Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ditjen Bina Pemdes, Kementerian Dalam Negeri, kita menjadi paham bagaimana sesungguhnya desa di seluruh Indonesia itu didesain sedemikian rupa sehingga desa akan menjadi sebuah lembaga yang mampu menatap langit namun tetap menginjak bumi. Mampu mengembangkan potensi diri di sesuai dengan jati diri. Mampu menjadi abdi negara tetapi tak meninggalkan akar budaya. Fakta sejarah bahwa desa adalah penopang lahirnya negara, sehingga tidak elok kalau desa diperlakukan semena-mena oleh negara. Oleh karenanya sesungguhnya semangat UU Desa adalah hasrat negara ingin mengembalikan kodrat desa seperti semula, namun tetap dalam bingkai NKRI dan berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan 1945.
Seperti halnya manusia, desa tercipta dari organ-organ utama yaitu kepala, badan dan anggota badan. Tak ada satupun dari organ-organ itu yang hanya sebagai asesoris belaka, semua punya arti dan punya fungsi. Namun tidak hanya itu saja, disamping tercipta dari organ-organ itu, desa juga dirancang memiliki jiwa atau ruh yang akan menggerakkan tubuhnya. Yang akan menguasai tubuhnya untuk melakukan apa saja sehingga kehadirannya lebih bermakna. Makna kehadiran desa pun akan paralel dengan sejauh mana kualitas jiwa yang ada mampu mengolah jiwa sehingga jiwanya mampu menghadirkan manfaat bagi warganya. Untuk mewadahi dan menyempurnakan kualitas jiwa desa, desa membutuhkan sesuatu yang sangat berharga, yaitu : kewenangan !
Menyadari arti dan makna kewenangan bagi desa sebagai jiwanya (ruhnya) desa, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara telah memberikan sesuatu yang sangat berharga itu kepada seluruh desa di Indonesia. Dan bergembiralh rakyat desa karena Permendagri No 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa telah diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri pada 30 Juni 2016.
Tantangan terberat dalam membangun sikap santun pemerintah terhadap desa, demikian pula masyarakat sendiri dan lembaga swasta terhadap desa, adalah menyamakan persepsi dalam memahami substansi dan konstruksi bangunan desaa. Tantangan terberat berikutnya adalah minim dan mahalnya media komunikasi pembangunan untuk mengkomunikasikan substansi itu.
“Kewenangan adalah basis semua aktivitas dan kegiatan yang ada di desa. Baik yang dilakukan di sini (Kemendagri) maupun di Kemendes. Kalau kewenangan tidak dapat dipahami dengan baik, maka akan percuma. Apapun yang diberikan kepada desa termasuk bantuan dalam bentuk dana baik dari pusat, provinsi maupun kabupaten/kota dan dari sumber lainnya akan sia-sia kalau tidak dikonstruksikan dalam konteks meletakkan kewenangan yang sebenarnya sesuai dengan UU. Kewenangan desa jangan dipahami seperti kewenangan yang diberikan pemerintah kepada pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan”, ungkapnya Aferi.
“Kewenangan desa itu mengacu kepada empat kewenangan sebagaimana yang diatur dalam UU Desa, yaitu kewenangan asal usul, kewenangan lokal skala desa, kewenangan penugasan dan kewenangan penugasan lain. Dua kewenangan pertama adalah kewenangan penyelengaraan urusan untuk mengatur kepentingan masyarakat yang tidak ada batasannya.
Dan dua kewenangan terakhir adalah metode pelaksanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota kepada desa. Itupun tidak serta dengan hanya memberikan program dan menyertakan angarannya, kemudian desa tinggal laksanakan. Tetapi harus masuk dalam proses perencanaan pembangunan desa”, lanjut Aferi.
Terjadinya ketidakharmonisan antara program dari pusat, provinsi maupun kabupaten/kita terhadap desa selama ini, adalah salah satu akibat dari sikap sektor yang belum memahami desa secara kritis sesuai dengan UU Desa. Masing-masing pihak masih asyik dengan persepsi dan paradigmanya dalam mahami desa. (Red : Agt-Jam)