BALI ∎ Isu terorisme sebagai akibat dari infiltrasi ideologi transnasional yang masuk dalam kehidupan sosial masyarakat dan bangsa ini, perlu dipandang sebagai masalah yang serius. Jangan hanya dipandang sebatas peristiwa adanya peledakan bom saja, akan tetapi berbagai ancaman dalam segala bentuknya yang ada di masyarakat adalah bentuk teror bagi masyarakat dalam menjalankan tugas dan aktivitas keseharian kita.
Demikian pula, bentuk ancaman bagi masyarakat bukan hanya akibat dari infiltrasi ideologi transnasional saja, tetapi juga bentuk kejahatan lain yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti narkoba, korupsi, kejahatan seksual, perusakan lingkungan dan sumber daya alam, dan lain sebagainya.
Demikian paparan yang disampaikan oleh Nata Irawan, SH, M.Si, dalam pembukaan acara Bimbingan Teknis Pembinaan Perlindungan Masyarakat Desa yang diadakan beberapa waktu yang lalu di Kuta, Bali.
Sebagaimana diketahui, bahwa beberapa peristiwa teror pernah terjadi di Pulau Dewata ini. Tercatat terjadi dua peristiwa teror bom yang cukup menggemparkan masyarakat. Peristiwa pertama pada Oktober 2002, di mana teror bom bunuh diri telah menewaskan sedikitnya 200-an orang, dan puluhan korban luka lainnya. Peristiwa kedua terjadi pada Oktober 2005, yang memakan puluhan korban nyawa, serta ratusan lainnya luka-luka.
Peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak, tidak hanya di dalam negeri, namun juga masyarakat dunia. Masyarakat Bali yang selama ini dikenal sangat kental dengan budaya toleransi, seolah-olah terkoyak dengan kejadian tersebut.
Dalam kesempatan ini, Nata Irawan, SH, M.Si mengingatkan kembali peristiwa tersebut. “Bukan untuk membuka luka lama, namun kita harus belajar dari peristiwa yang pernah terjadi di Bali, peristiwa buruk yang mengoyak nilai-nilai sosial dan tatanan keamanan kita, agar kita selalu waspada!”, ungkapnya.
Diakui bahwa dengan adanya beberapa peristiwa tersebut dirasa masih adanya kekurangan pada sistem perlindungan secara umum terhadap masyarakat. Dalam hal ini pihaknya mengajak agar masyarakat secara terus-menerus meningkatkan kemampuan dan kewaspadaannya dalam menghadapi terorisme.
“Untuk itu, negara dan masyarakat harus benar-benar bersatu padu dalam melawan gerakan radikalisme dan terorisme yang kini kian menggejala di lingkungan kita”, ajak Nata Irawan di hadapan peserta.
Pasca lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah telah menyusun beberapa agenda strategis yang menjadi program prioritas, di antaranya adalah menata kembali regulasi, kelembagaan, sistem dan sumber daya manusia, serta meningkatkan kearifan lokal dalam penyelenggaraan perlindungan masyarakat di Desa.
Ditegaskan kembali oleh Dirjen Bina Pemerintahan Desa bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai POROS jalannya Pemerintahan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menjalankan tugas penyelenggaraan ketenteraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat desa.
Salah satu poin penting dari upaya untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme adalah dengan memperkuat dan mempererat tali persaudaraan antar suku dan budaya. ”Mengingat gerakan radikalisme dan terorisme sudah masuk di lingkungan perdesaan, maka sebagai upaya dan bentuk dari perlindungan masyarakat yang ada di desa-desa, kita perlu melestarikan local wisdom (kearifan lokal-red) sebagai alat pemersatu bangsa”, demikian Nata Irawan, SH, M.Si menegaskan.
Sebagaimana dilaporkan oleh Ir. Yuliati, MM, Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Desa, Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, selaku penanggung jawab kegiatan Bimbingan Teknis Pembinaan Perlindungan Masyarakat, bahwa tujuan diadakannya acara ini adalah untuk memperoleh masukan atau informasi tentang kebutuhan akan penyelenggaraan linmas sesuai dengan amanat UU Nomor 2014 tentang Desa. Demikian juga agar diperoleh data-data terkait strategi dan langkah penanggulangan dalam penyelenggaraan perlindungan masyarakat di daerah.
Tujuan lain adalah agar diperoleh pola-pola strategi dalam penanganan dan pencegahan terkait penyelenggaraan perlindungan masyarakat di daerah, terhimpunnya permasalahan perlindungan masyarakat, dan menggali potensi lokal dalam mendukung dan mewujudkan pelaksanaan Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat yang berakar pada tradisi dan kearifan lokal.
Kegiatan yang digelar di Kuta, Bali, pada tanggal 18 – 20 Mei 2016 ini melibatkan peserta dari parapihak terkait mulai dari pusat sampai ke daerah, yang terdiri dari Pejabat di lingkungan Kementerian Dalam Negeri, Pejabat Provinsi dan Kabupaten di Provinsi Bali terpilih, perwakilan camat terpilih, dan undangan lainnya.
Sebagai narasumber antara lain Ir. Yuliati MM, Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Desa, Kepala Dinas Sosial Provinsi Bali, Kepala BPMPD Provinsi Bali, Kapolda Bali, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Jero Mangku Kadek Suardika selaku Pakar Adat dan Sosial Budaya Bali, Bupati Badung, dan Chaerul Dwi Sapta, SH, M.AP, Kasubdit Fasilitasi Bimbingan Kemasyarakatan Desa.
Kegiatan Bimbingan Teknis Pembinaan Perlindungan Masyarakat diselenggarakan oleh Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Desa Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri. Kegiatan ini diadakan di enam lokasi, antara lain di Bali, Mataram, Bogor, Banten, Lampung, dan Makassar.
Demikian pula, bentuk ancaman bagi masyarakat bukan hanya akibat dari infiltrasi ideologi transnasional saja, tetapi juga bentuk kejahatan lain yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti narkoba, korupsi, kejahatan seksual, perusakan lingkungan dan sumber daya alam, dan lain sebagainya.
Demikian paparan yang disampaikan oleh Nata Irawan, SH, M.Si, dalam pembukaan acara Bimbingan Teknis Pembinaan Perlindungan Masyarakat Desa yang diadakan beberapa waktu yang lalu di Kuta, Bali.
Sebagaimana diketahui, bahwa beberapa peristiwa teror pernah terjadi di Pulau Dewata ini. Tercatat terjadi dua peristiwa teror bom yang cukup menggemparkan masyarakat. Peristiwa pertama pada Oktober 2002, di mana teror bom bunuh diri telah menewaskan sedikitnya 200-an orang, dan puluhan korban luka lainnya. Peristiwa kedua terjadi pada Oktober 2005, yang memakan puluhan korban nyawa, serta ratusan lainnya luka-luka.
Peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali ini menimbulkan keprihatinan banyak pihak, tidak hanya di dalam negeri, namun juga masyarakat dunia. Masyarakat Bali yang selama ini dikenal sangat kental dengan budaya toleransi, seolah-olah terkoyak dengan kejadian tersebut.
Dalam kesempatan ini, Nata Irawan, SH, M.Si mengingatkan kembali peristiwa tersebut. “Bukan untuk membuka luka lama, namun kita harus belajar dari peristiwa yang pernah terjadi di Bali, peristiwa buruk yang mengoyak nilai-nilai sosial dan tatanan keamanan kita, agar kita selalu waspada!”, ungkapnya.
Diakui bahwa dengan adanya beberapa peristiwa tersebut dirasa masih adanya kekurangan pada sistem perlindungan secara umum terhadap masyarakat. Dalam hal ini pihaknya mengajak agar masyarakat secara terus-menerus meningkatkan kemampuan dan kewaspadaannya dalam menghadapi terorisme.
“Untuk itu, negara dan masyarakat harus benar-benar bersatu padu dalam melawan gerakan radikalisme dan terorisme yang kini kian menggejala di lingkungan kita”, ajak Nata Irawan di hadapan peserta.
Pasca lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah telah menyusun beberapa agenda strategis yang menjadi program prioritas, di antaranya adalah menata kembali regulasi, kelembagaan, sistem dan sumber daya manusia, serta meningkatkan kearifan lokal dalam penyelenggaraan perlindungan masyarakat di Desa.
Ditegaskan kembali oleh Dirjen Bina Pemerintahan Desa bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai POROS jalannya Pemerintahan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menjalankan tugas penyelenggaraan ketenteraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat desa.
Salah satu poin penting dari upaya untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme adalah dengan memperkuat dan mempererat tali persaudaraan antar suku dan budaya. ”Mengingat gerakan radikalisme dan terorisme sudah masuk di lingkungan perdesaan, maka sebagai upaya dan bentuk dari perlindungan masyarakat yang ada di desa-desa, kita perlu melestarikan local wisdom (kearifan lokal-red) sebagai alat pemersatu bangsa”, demikian Nata Irawan, SH, M.Si menegaskan.
Sebagaimana dilaporkan oleh Ir. Yuliati, MM, Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Desa, Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, selaku penanggung jawab kegiatan Bimbingan Teknis Pembinaan Perlindungan Masyarakat, bahwa tujuan diadakannya acara ini adalah untuk memperoleh masukan atau informasi tentang kebutuhan akan penyelenggaraan linmas sesuai dengan amanat UU Nomor 2014 tentang Desa. Demikian juga agar diperoleh data-data terkait strategi dan langkah penanggulangan dalam penyelenggaraan perlindungan masyarakat di daerah.
Tujuan lain adalah agar diperoleh pola-pola strategi dalam penanganan dan pencegahan terkait penyelenggaraan perlindungan masyarakat di daerah, terhimpunnya permasalahan perlindungan masyarakat, dan menggali potensi lokal dalam mendukung dan mewujudkan pelaksanaan Penyelenggaraan Perlindungan Masyarakat yang berakar pada tradisi dan kearifan lokal.
Kegiatan yang digelar di Kuta, Bali, pada tanggal 18 – 20 Mei 2016 ini melibatkan peserta dari parapihak terkait mulai dari pusat sampai ke daerah, yang terdiri dari Pejabat di lingkungan Kementerian Dalam Negeri, Pejabat Provinsi dan Kabupaten di Provinsi Bali terpilih, perwakilan camat terpilih, dan undangan lainnya.
Sebagai narasumber antara lain Ir. Yuliati MM, Direktur Kelembagaan dan Kerjasama Desa, Kepala Dinas Sosial Provinsi Bali, Kepala BPMPD Provinsi Bali, Kapolda Bali, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Jero Mangku Kadek Suardika selaku Pakar Adat dan Sosial Budaya Bali, Bupati Badung, dan Chaerul Dwi Sapta, SH, M.AP, Kasubdit Fasilitasi Bimbingan Kemasyarakatan Desa.
Kegiatan Bimbingan Teknis Pembinaan Perlindungan Masyarakat diselenggarakan oleh Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Desa Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri. Kegiatan ini diadakan di enam lokasi, antara lain di Bali, Mataram, Bogor, Banten, Lampung, dan Makassar.
Tim Red: Gunadi/Dani/Haimi
Sumber: Subdit Fasilitasi Bimbingan Kemasyarakatan Desa, Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Desa Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri