blog image
Created by : admin - 2019-10-26 14:01:56

Belajar dari kebakaran hutan dan lahan yang lalu, pemerintah punya jurus  lebih komprehensif untuk mengatasinya. Mulai dari cara preventif, penerapan early warning system, pembuatan sumur bor, canal blocking, penegakan hukum, sampai upaya jangka panjang membenahi ekosistem gambut.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi persoalan yang serius, selama 18 tahun terakhir. Khususnya di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Lahan gambut yang kering, musim kemarau, dan masyarakat yang kurang berhati-hati dalam  pembukaan lahan menjadi faktor utama penyebab kebakaran. Dampak buruk kebakaran ini adalah gangguan kesehatan dan kerugian ekonomi. Bahkan memunculkan protes dari negara-negara tetangga.

Cuaca yang basah sepanjang tahun 2016, harus diakui sebagai faktor menurunnya kebakaran hutan di Indonesia. Sampai 12 Agustus 2016, kebakaran hutan dan lahan turun signifikan hingga hanya 74% dibandingkan dengan tahun 2015.

Namun, khusus tahun 2017 ini kewaspadaan terulangnya kebakaran hutan dan lahan harus lebih diwaspadai. Terutama pada puncak musim kemarau yang jatuh pada Agustus, September, dan Oktober.

Bulan Januari  2017 ini, Badan Meteorologi dan Geofisika mengeluarkan prakiraan cuaca. Di semua provinsi rata-rata curah hujan masih menengah tinggi, dengan Riau terlihat yang paling rendah. Pada Februari 2017, sebagian provinsi di Sumatera dan Kalimantan curah hujan ada pada menengah bawah (100 – 200 mm), dengan sifat hujan di bawah normal khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Jambi, Sumatera Selatan, dan Lampung juga terlihat sifat hujan di bawah normal. Sementara untuk bulan Maret 2017 hampir semua wilayah di Kalimantan dan Sumatera sifat hujan berada di bawah normal.

Dengan melihat trend curah hujan di atas, maka agaknya curah hujan akan semakin kecil yang berpuncak pada Agustus, September, dan Oktober yang berdampak pada potensi kebakaran hutan dan lahan. Itulah sebabnya, antisipasi perlu dilakukan sejak sekarang. Koordinasi antar instanti perlu digalakkan dengan memantau titik panas (hotspot). Karena jika kebakaran bisa dicegah, biaya ekonominya jauh lebih rendah.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kapolri, Panglima TNI kini harus lebih padu untuk bersama-sama menyelesaikan kebakaran hutan dan lahan sedini mungkin sebelum api bergerak kemana-mana.

Presiden dalam Rapat Terbatas tentang Pencegahan dan Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan  pada 12 Agustus 2016 secara khusus menegaskan, pejabat teritorial TNI dan pejabat kewilayahan Polri harus diikutsertakan dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan dan akan akan ada reward dan punishment. Itu artinya mereka tidak bisa berdiam diri jika di wilayahnya terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Tindakan tegas juga diberikan bagi mereka yang secara sengaja melakukan pembakaran hutan. Sanksi administrasi, perdata, dan pidana dijatuhkan untuk memberi kepastian hukum dan keadilan pada masyarakat.

Pada akhirnya pencegahan merupakan langkah yang ideal. Beberapa sumber menyebutkan, biaya pencegahan hanya 4% dibandingkan bila harus melakukan pemadaman. Itu artinya pencegahan harus menjadi prioritas. Edukasi pada masyarakat dan pemilik lahan harus menjadi fokus utama.

Langkah komprehensif mengatasi kebakaran hutan juga ditunjukkan dengan pendirian Badan Restorasi Gambut (BRG). Melalui BRG, ekosistem gambut akan ditata ulang. Kini, lahan gambut dipandang sebagai sebuah kesatuan. Itulah sebabnya BRG dibentuk bukan semata-mata mengatasi kebakaran di lahan gambut, tetapi terlebih untuk menata ekosistem gambut sehingga lebih produktif dan memberi nilai ekonomi pada masyarakat.

BRG bekerja sama dengan Universitas Hokkaido, Jepang telah membuat pengukuran tinggi muka air yang real time. Ketinggian muka air ini akan menentukan tingkat kekritisan kebakaran di lahan tersebut.

Melalui alat pengukuran Sesame yang menembus tanah sedalam 1,2 m maka tingkat kelembaban dan naik turunnya muka air di dalam gambut akan bisa terukur. Asumsinya, bila tinggi muka air gambut lebih dari 40 cm maka lahan masih lembab dan susah terbakar. Namun, bila tinggi muka air di bawah 40 cm, kondisi lahan menjadi lebih mudah terbakar.

Dengan berbagai langkah di atas kebakaran hutan diharapkan bisa diselesaikan secara tuntas dan komprehensif.

 

sumber: presidenri.go.id