
(Jakarta, 30/12)—Revisi Permendagri No 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, ditindaklanjuti dalam rapat terbatas (Ratas) di lingkup Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Ditjen Bina Pemdes) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Salah satu latar belakang revisi adalah semangat pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok negeri yang bersingunggan dengan aset desa, sehingga Permendagri No 1 Tahun 2016 sudah dinilai tidak relevan dengan kondisi saat ini.
Untuk merelevansikan kembali Permendagri No 1 Tahun 2016 tersebut, maka perlu harmonisasi produk hukum bidang pemerintahan desa, dengan semangat pembangunan yang digalakkan pemerintahan saat ini,
Revisi atau perubahannya terdapat dalam 20 pasal atau terbatas, hanya substansi yang penting tidak melebihi 50% dari total 51 pasal. Bagaimana pun pengelolaan aset desa merupakan hal mendasar, yang umumnya berupa tanah, sehingga persoalan muncul terkait sejumlah hal seperti waktu pencarian tanah pengganti, lokasi tanah pengganti, obyek ganti kerugian, obyek ganti kerugian khusus Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kegiatan ini dipimpin oleh Direktur Fasilitasi Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa (FKAPD) Lutfi T. M.A, dan diberikan arahan langsung oleh Dirjen Bina Pemdes Yusharto Huntoyungo, serta dihadiri sejumlah pejabat pratama di lingkungan Ditjen Bina Pemdes.
Yusharto mengingatkan pada peserta pembahasan dimaksud untuk memasukkan unsur pemanfaatan informasi dan teknologi (IT) dalam menangani persoalan tukar aset. “Contohnya di Bali, setiap keputusan desa selalu langsung dikasih kode (Barcode) sehingga masyarakat bisa mengakses setiap informasi, ini mestinya bisa dijadikan sebagai bagian dari standard operating system (SOP), jangan serba manual. Penggantian aset juga ditawarkan dalam wujud yang lain, zaman sekarang sudah dunia sudah masuk ke metaverse, kita masih manual. Agar juga jangan melihat desa seolah tidak mau maju, jadi bisa tawarkan dalam wujud lain, misalnya modal usaha demi kemajuan desa, atau modal industri lainnya yang nilainya setara dengan tanah yang ditukar,” tegasnya.
Hal tersebut disampaikan Yusharto demi mengurangi sengketa, bersinggungan dengan mafia tanah, serta jangka waktu yang bisa diselesaikan secara lebih cepat. Jika memaksa tetap dalam wujud tanah, benar-benar diminta memastikan untuk 15 tahun ke depan belum akan digunakan untuk tujuan yang sama. Supaya tidak berulang ketemu masalah yang sama, karena bersinggunggan dengan pembangunan infrastruktur.
Selain itu, Yusharto meminta tim hukum menggandeng Kepala Daerah agar aturan bisa segera diselesaikan secara simultan tidak menunggu terlalu lama dari internal Kemendagri melalui Ditjen Bina Pemdes ini. Hal ini sejalan dengan pandangan Lutfi agar semangat menuntaskan perubahannya segera disahkan di tahun 2021, sehingga bisa dijadikan acuan hukum di tahun 2022.